10 Desember 2015

Narkoba itu sebenarnya adalah masalah medis.


Morfin, Petidin adalah obat paling mujarab untuk menghilangkan rasa sakit. Nyeri karena patah tulang, nyeri serangan jantung semuanya sirna berkat disuntik morfin. Lama kelamaan baru ketahuan jika obat penghilang sakit itu menyebabkan ketagihan. Beberapa petugas anestesi sering ketahuan meninggal dunia karena OD (overdosis). Menjadi rahasia umum petugas anestesi sering menyuntikkan sisa Petidin ke pahanya jika dia pegal linu. Ketagihan bukan lagi masalah fisik, seperti tulang patah atau serangan jantung, melainkan adalah gangguan jiwa. Selain diberikan obat antidote morfin (Nallorfin), perlu diberikan juga psikoterapi. Ada sekelompok orang jahat yang memanfaatkan fenomena ini. Morfin dijual bebas, sehingga banyak orang menjadi ketagihan. Bukan itu saja, mereka juga menjual candu, bahan baku morfin. Dengan terjadinyan ketagihan, mereka akan membeli morfin terus. Bisnis morfin akan sangat menjanjikan. Ini bisa diantisipasi, jika kita ketagihan makan makanan tertentu di suatu restoran, mungkin saja makanan kita sudah dibubuhi sejenis morfin. Morfin lalu menjadi komoditi. Morfin akan larut dalam fenomena supply dan demand. Morfin menjadi bagian dari ekonomi. Tidak jarang pecandu akan kehabisan uang. Tiada jalan lain upaya berikutnya adalah kriminal, mencuri sampai merampok. Morfin lalu menjadi bagian dari penegakan hukum. Polisi menjadi terlibat dalam masalah morfin. Hukum membedakan antara penyodor dan pemakai. Seringkali perbedaan ini sangat tipis. Ketika pemakai kehabisan duit, dia akan berjualan juga. Penyodor adalah kriminal, sementara pemakai adalah korban. Penyodor masuk penjara, pemakai masuk panti rehabilitasi. Mengapa polisi mau menarik diri dari masalah rehabilitasi ini?

Narkoba bisa dicegah dengan mendalami ilmu kesehatan pencegahan. Narkoba adalah agent (virus DHF), manusia adalah host, penyodor adalah vektor (nyamuk). Pencegahan berusaha memutuskan mata rantai ketiganya. Narkoba dibasmi, manusia didetox, dikebalkan, penyodor disemprot mati. Upaya untuk memutuskan mata rantai itu tidak mudah. Mafia narkoba mempunyai jaringan yang tidak gampang dibasmi oleh polisi. Modus operandinya beraneka ragam. Sampai2 penyelundup disuruh menelan kondom yang berisi narkoba agar tidak tertangkap di Bandara. Meskipun penyandu tahu di mana membeli narkoba, umumnya mereka buta siapa identitas yang menjual barang haram itu. Upaya lainnya masih bisa dilakukan, misalnya bagaimana mengebalkan manusia terhadap narkoba. Istilahnya resilence (mental seperti karet). Dulu sasaran narkoba adalah anak sekolah, peer group (remaja ingin mencoba, krisis identitas), guru sekolah (pengawas terstruktur), orang tua murid (pendidik luar sekolah), kelompok rohaniwan (pendidik mental), tokoh masyarakat (RT, RW, lurah dst). Sekarang kayaknya sudah tidak cocok lagi. Narkoba merebak ke mana2, ke artis, pekerja, akademisi dll. Nampaknya semua lapisan masyarakat harus dikebalkan. Peranan orang tua pada masa kini sudah luntur, kalah dengan peranan peer (kelompok sebaya, seminat). Jika dicari kementerian yang bertanggungjawab, ya semua kementerian. Koordinatornya adalah Kementerian Kesehatan Direktorat Kesehatan Jiwa bersama Badan POM. Dulu promotor UU Narkoba adalah Prof Kusumanto dari Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan.


Jika pencegahan tidak berhasil, maka pengobatan harus segera dilakukan. Korban harus didetoksifikasi di rumah sakit. Dulu ada RSKO, namun peranannya kalah dibandingkan Lembaga BNN. Korban narkoba jarang mau sukarela datang ke RSKO. Jika ke BNN itu terpaksa karena korban adalah hasil tangkapan. Terapi korban narkoba jadi amburadul. Detoksifikasi memerlukan waktu sekitar satu minggu. Sesudah itu harus direhabilitasi selama 3 bulan. Ada pesantren, ada lembaga swadaya dll yang menyelenggarakan rehabilitasi ini. Biayanya tidak sedikit. Sesudah itu harus secara berkala ketemu psikiater untuk mendapatkan terapi keluarga. Itu harus dilakukan secara berkala sampai 2 tahun. Jika selama 2 tahun (masa corridor) tidak pernah rindu (ketagihan) diperkirakan seumur hidup akan berhenti jadi penyandu narkoba. Narkoba adalah kompetensi kesehatan.
Pada tahun sekitar 1972an sebuah perusahaan obat Janssen Pharmaceutica Belgia memasarkan produknya di Indonesia. Ada beberapa produk. Salah satu produknya yang bernama Reasec mengandung Dephenoxilate HCl. Obat mencret ini dicampur dengan sulfas atropin (SA). Saya bertanya kepada Product Manager di Belgia van Tulden, mengapa dicampur dengan SA! Sudjoko, (ketika itu saya mahasiswa kedokteran), Dephenoxilate itu mirip morfin yang punya efek ketagihan. Pencampuran dengan SA, diharapkan jangan dipakai secara berlebihan atau ketagihan. Nah, jika semua Narkoba sudah diketahui antidotenya, diketahui juga SAnya, semua narkoba tidak akan sebabkan ketagihan. Orang tidak beli narkoba lagi. Penyodor kehilangan pasar. Orang tidak mencari narkoba, masalahnya selesai.


Jika polisi tidak mau selenggarakan rehabilitasi, itu bagus, karena bukan kompetensi polisi. RSKO yang bernaung di bawah kementerian kesehatan perlu diperbanyak, terutama di daerah. Polisi perlu menjaga RSKO agar tidak kemasukan penyodor gelap.***


Source: sudjokok@yahoo.co.id

10 November 2015

Prinsip etika


Etika sering dibicarakan di masyarakat. Ada etika kedokteran, wartawan, polisi, DPR dll. Etika menjadi pembicaraan, oleh karena pelanggaran etika akan berujung ke pelanggaran hukum. Pada awalnya etika disusun oleh para rohaniwan dari berbagai agama. Etika sangat diperlukan jika ada hubungan antara dua manusia yang tidak seimbang. Misalnya antara pasien dan dokter. Pengetahuan pasien mengenai kedokteran sangat minim, dibandingkan dokter. Dengan etika diharapkan dokter tidak akan sewenang-wenang dalam menghadapi pasien. Begitu juga dengan polisi dan terduga. Etika diperlukan polisi agar tidak sewenang-wenang dalam menghadapi terduga.



Ada dua sumber konsep etika. Pertama ialah Teleontologi, atau asas manfaat dan mudarat. Jika manfaatnya lebih banyak dari mudaratnya, kerjakan. Jika sebaliknya, hindari, jangan lakukan. Yang kedua adalah Deontologi, artinya apa yang diwajibkan dalam kitab suci, laksanakan. Jika dilarang jangan dikerjakan. Dalam hal ini etika menjadi dogma yang universal. Akan ditemukan benang merah diantara semua agama. Misalnya penghargaan untuk semua mahluk hidup. Semua agama melarang pengguguran kandungan. Akibatnya etika kedokteran melarang pengguguran kandungan. Dokter yang menggugurkan kandungan rawan akan melanggar hukum.


Dalam hubungan yang tidak seimbang itu ada beberapa prinsip etika yang harus dipenuhi:
Autonomi (pribadi, individu, peorangan), seseorang bisa menolak atau memilih obat atau dokternya. Setiap orang punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Bahkan bayi dalam kandungan ibu punya hak hidup dan sehat. Jika ibunya bekerja dan terpapar bahan kimia, selain ibunya, bayi punya hak juga agar tidak terpapar.


Benefisence (menguntungkan pihak yang lebih rendah, dokter harus berpraktek sesuai dengan keinginan pasien. Dokter BPJS dan masyarakat punya kedudukan yang tidak seimbang. Semua tindakan dokter harus menguntungkan masyarakat.


Nonmalafisence (jangan menambah kerusakan), pertama jangan merusak. Jika sistem pelayaan dokter BPJS lebih jelek dari sebelumnya, jangan dibuat menjadi lebih buruk. Jangan mencela saja tanpa usaha perbaikan. Pemerintah harus mengakui, bahwa sejak lama pelayanan kesehatan primer kita terpuruk. Pemerintah hanyut dari permintaan masyarakat untuk meningkatkan dokter spesialis secara berlebihan.


Justice (keadilan), sumber daya kesehatan yang semakin langka, pengambilan keputusan siapa mendapat pengobatan dan obat apa, keadilan dan persamaan. Rujukan harus dilakukan atas dasar kebutuhan, bukan atas dasar pangkat atau kenalan.
Ada beberapa nilai yang perlu dipenuhi dalam etika:
Menghormati orang, menghormati pasien dan orang yang mengobati pasien, hak untuk diobati secara rahasia, confidentiality (dirahasiakan), dan tidak diumbar ke publik. Pemeriksaan polisi seyogianya tidak diliput wartawan. Kartu berobat pasien harus disimpan dalam almari terkunci.


Truthfulness (berkata benar, jujur), pasien harus diberitahu mau diapakan dan diobati apa, informed consent. Pesakitan perlu diberitahu apa pelanggaran dan hak-haknya. Jika seseorang diketahui menderita kanker, maka orang itu perlu diberitahu. Waktu dan caranya perlu dilakukan secara bijak.
Banyak sekali etika di negara kita. Tidak banyak pihak yang mau membaca dokumen etika dan peduli dengan etika. Wajar jika terjadi beberapa pelanggaran. Namun jika menguasai prinsip yang diutarakan di atas, jarang sekali pelanggaran akan dilakukan.***


Source: sudjokok@yahoo.co.id

RSS Feed (xml)
Template by : Kendhin x-template.blogspot.com